Pengguna atau penikmat media sosial cenderung merasa bebas berekspresi 
di ruang maya. Dari mengkritik perilaku orang lain, mengunggah 
gambar-gambar korban kecelakaan atau berbau pornografi, menulis kabar 
bohong, melecehkan orang lain, hingga menyampaikan hal yang sifatnya 
melanggar privasi.
Bagaimana sebenarnya beretika di media sosial?
Etika
 dalam bersosial di media seperti itu sebenarnya sama dengan kehidupan 
sehari-hari. “Saya kira semua orang paham etika kehidupan sehari-hari, 
dan itu tinggal diimplementasikan dalam bersosial media,” kata Didi 
Nugrahadi dari SalingSilang.com.
Kendati demikian, dia 
menegaskan, tidak ada keharusan mematuhi etika dalam bersosial media. 
“Contoh sederhana, ketika saya sedang meeting dengan tiga orang teman di
 resto. Lalu ada salah satu dari kita bertiga nge-tweet, ‘Gue lagi meeting di restoran ini sama si A, B, dan C’. Menurutku apa yang dilakukan sudah melanggar privasi,” kata Didi.
Sebab,
 belum tentu semua orang mau dipublikasikan di media sosial. Meski 
demikian, tak bisa memberi sanksi kepada pelaku, karena sejak awal tidak
 ada kesepakatan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan 
teman-teman. 
Kalaupun ada sanksi, lanjutnya, sifatnya sanksi 
sosial. “Orang tersebut dengan sendirinya akan tersingkir dari 
lingkungan sosial media,” ujar Didi.  Tapi jika orang yang merasa 
dirugikan ingin sanksi hukum, bisa melaporkannya ke pihak berwajib. 
Bentuk
 sanksi sosial bisa berupa protes maupun tidak melibatkannya lagi dalam 
kehidupan media sosial maupun kehidupan nyata. “Misalkan di-publish seperti
 itu, saya pasti langsung protes. Saya pasti kasih tahu dia bahwa saya 
tidak suka, dan belum tentu semua orang mau di-publish. Jika pada 
meeting berikutnya dia masih melakukan itu, maka di hari berikutnya saya
 tak mau meeting dengan dia,” jelas Didi.
Didi menambahkan, 
setiap orang, baik tertib dan tidak tertib pasti punya perasaan untuk 
mengukur apakah yang dilakukan benar atau tidak.  
Sebagai orang yang aktif di media sosial, Didi mengaku punya rambu tersendiri. “Kalau ada timeline yang menurutku menyinggung perasaan orang lain, pasti saya langsung mute supaya nggak kelihatan dan aku nggak follow lagi,” kata Didi yang yakin lebih banyak orang positif di media sosial. Buktinya, media sosial masih tetap ada hingga sekarang. 
Menurut
 Yandi Rofiyandi, Editor di Tempo.co, sebenarnya saat ini pengguna 
internet atau media sosial di Indonesia sudah mulai dewasa. Mereka bisa 
memilah mana yang baik dan tidak baik untuk di-post di media sosial.
“Umumnya
 masyarakat sudah punya filter sendiri, tanpa harus ada aturan baku. 
Karena sejauh ini belum ada UU Sosial Media selain UU tentang ITE 
(Informasi dan Transaksi Elektronik),” katanya.
Yandi sependapat 
dengan Didi, bersosial media ataupun berselancar di internet kurang 
lebih sama dengan bersosialisasi di kehidupan nyata. “Jadi apa yang 
menjadi acuan kita dalam berinteraksi di kehidupan nyata, tentu juga 
bisa kita terapkan dalam berinteraksi di sosial media,” jelasnya.
Walau
 begitu, Yandi tidak memungkiri, media sosial maupun internet sangat 
memungkinkan orang untuk berbuat semaunya dan bertindak di luar aturan 
kehidupan sehari-hari meski presentasenya sedikit. 
“Namun kita 
tidak bisa memvonis, orang yang dalam pergaulan nyata dikenal nakal 
sudah pasti nakal juga saat bergaul di media sosial. Sebab, ada orang 
yang yang dalam kehidupan nyata asyik diajak bergaul tapi di media 
sosial terkesan tidak asyik,” kata Yandi.
Ada pula orang pendiam 
tapi rajin nge-tweet, malah cenderung ‘bawel’ di Twitter. “Memang belum 
ada penelitian tentang hal itu, tapi kalau kita bicara berdasarkan 
asumsi kebanyakan orang, maka bisa disimpulkan bahwa etika seseorang 
dalam kehidupan nyata akan memncerminkan etikanya di kehidupan sosial 
media, atau sebaliknya,” jelasnya.
Jika ada orang yang tidak sopan di sosial media, lanjutnya, kita hanya bisa menyikapi dengan “unfollow”.
Dia
 mengakui bahwa kehidupan media sosial bisa mempengaruhi kehidupan 
nyata. “Kita juga tidak perlu berharap agar kehidupan bersosial media 
akan baik-baik saja. Menurut saya, kehidupan sosial media juga perlu 
dinamika,” katanya.
Namun demikian, ia berharap ada konsistensi 
kelompok masyarakat yang menyuarakan atau mengampanyekan internet sehat 
termasuk di media sosial. “Kalau menurut saya pribadi, pengguna internet
 sudah dewasa jadi dibiarkan saja juga tetap akan baik-baik saja,” 
tandasnya.
Sementara Wicaksono, blogger lawas, 
mengingatkan bahwa etika bukanlah sesuatu yang tertulis, kecuali etika 
jurnalistik. “Tidak ada yang disepakati bersama oleh para pengguna media
 sosial. Tapi media itu kan semacam ruang publik, jadi etika yang 
berlaku sama dengan etika kehidupan kita sehari-hari,” kata Wicaksono.
Etika
 ini bukan harus dipatuhi, tapi cukup jadi pedoman. Sebab, lanjutnya, 
etika itu intinya sebuah pedoman. “Misalnya pedoman di jalan raya ada UU
 Jalan Raya. Tapi ada juga etika di jalan yang tidak tertulis dalam UU,”
 katanya.
Wicaksono juga sepakat tentang sanksi sosial bagi 
pelanggar etika. Hanya itu yang bisa diberikan. Sebagai gambaran, 
katanya, ketika ada orang berperilaku tidak sesuai etika di kantor, 
langsung bisa ditegur. Minimal diberitahu. 
“Tapi kalau dia 
menolak mematuhi, kita tidak punya perangkat hukum untuk menghukum orang
 yang melanggar etika tersebut,” kata Wicaksono. Karena itulah, hanya 
sanksi sosial yang bisa berlaku. Orang yang melanggar etika bakal 
dijauhi teman-teman. (Iwan S)
Sumber
 

 


Posting Komentar - Back to Content